adikku

Munir adalah temanku sewaktu aku belajar di Ma'had. Dia anak yang sangat nakal, khusus jika dia bermain dengan kujing---kehidupan-kehidupan kecil itu sering masuk asrama pesantren, di sana mereka mencari makanan juga cinta dari orang yang sama manis.


Di Indonesia sudah ditinggal banya orang Cina, yang mencapai penduduk sekitar 20 persan, sebabnya aku tidak pernah merasa beda. Sebagai negeri asia yang lain, juga di Indonesia, orang Cina, untuk memelihara silsilah, hanya kawin di dalam suku bangsanya. Kekayaan besar memencilkan orang Cina lebih jauh dari orang asli.


Tak lama setelah aku menyadari kedudukan ini, Munir menjadi pemanduku dengan segan, bertanyaku memberinya uang. Aku tertawa, tertawa lama.


Cuaca Surabaya panas sekali! Kalau di Cina, aku perlu memberi hanya tiga sabun setahun, tetapi di Indonesia aku harus memberi satu sabun setiap bulan! Es teh adalah kemewahan yang aku suka. Munir juga suka. Dari toko swalayan, kalian membeir madu, teh, gula dan es dari warung pojok, pemiliknya menjual naci pecel yang sangat enak ke mahasiswa Ma'had. Aku sering minum banya sampai merasa dingin.


Undangan teh titak tertarik ke teman-teman yang lain, kerena mereka suka "makanan keras". Aku mengerti mengapa.


Munir, adikku, mencinta difoto! Hampir setengah foto-foto yang aku punya sudah memfoto Munir. Sekarang dia masih kirim imel ke Cina meminta fotonya. Aku menunggu imelnya depan.

Comments

Popular posts from this blog

Memory about Chinese medicine

The Chinese Hatred

My prediction about the future in 2022